Kamis, 28 Juni 2012

DAMPAK MEDIA TELEVISI TERHADAP PEMBENTUKAN PERILAKU REMAJA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI



BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Remaja
Istilah remaja atau adolesence berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence (dari bahasa Inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Masa remaja adalah masa-masa kritis dimana terjadi peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Pola-pola karakter seorang individu akan mulai terbentuk pada masa ini sehingga pembentukan perilaku mungkin relatif lebih sulit. Jika diibaratkan dengan kertas, maka remaja bukan lagi selembar kertas polos yang leluasa ditulisi, namun telah diisi dengan beberapa guratan-guratan karakter yang mewarnai karakter dirinya. Periode remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak ke periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu.
Kebanyakan ahli memandang masa remaja harus dibagi dalam dua periode karena terdapat ciri-ciri perilaku yang cukup banyak berbeda dalam kedua (sub) periode tersebut. Pembagian ini biasanya menjadi: periode remaja awal (early adolescence), yaitu berkisar antara umur 13 sampai 17 tahun; dan periode remaja akhir, yaitu 18 sampai 20 tahun (atau umur dewasa menurut hukum yang berlaku di suatu negara).
B. Ciri-Ciri Remaja
Masa remaja merupakan masa yang sangat penting, sangat kritis dan sangat rentan, karena bila manusia melewati masa remajanya dengan kegagalan, dimungkinkan akan menemukan kegagalan dalam perjalanan kehidupan pada masa berikutnya. Sebaliknya bila masa remaja itu diisi dengan penuh kesuksesan, kegiatan yang sangat produktif dan berhasil guna dalam rangka menyiapkan diri untuk memasuki tahapan kehidupan selanjutnya, dimungkinkan manusia itu akan mendapatkan kesuksesan dalam perjalanan hidupnya. Dengan demikian, masa remaja menjadi kunci sukses dalam memasuki tahapan kehidupan selanjutnya.
Masa remaja juga dikenal dengan masa perkembangan menuju kematangan jasmani, seksualitas, pikiran, dan emosional. Begitu juga masa remaja sering disebut sebagai masa dimana terjadinya berbagai perubahan pada manusia, baik perubahan jasmani, seksualitas, pikiran, kedewasaan, maupun sosial. Semua itu merupakan proses perpindahan seseorang dari masa anak-anak. Masa remaja bukanlah masa yang berada secara tersendiri dan terpisah dari masa lampau dan sekarang. Tetapi masa remaja adalah masa yang saling berkaitan dengan masa lampau, sekarang, dan akan datang. Setiap manusia dituntut untuk mengetahui dan memahami dengan baik tentang masa remajanya.
Secara garis besar, masa remaja ditandai oleh ciri-ciri pertumbuhan fisik, perkembangan seksual, cara berpikir kausalitas, emosi yang meluap-luap, menarik perhatian lingkungan, dan terikat dengan kelompok.
C. Perkembangan Masa Remaja dan Perilaku yang Muncul
Memasuki gerbang remaja, umumnya baik remaja putra maupun remaja putri, ia merasa dirinya sudah besar, dalam arti bukan kanak-kanak lagi. Oleh sebab itulah terkadang remaja susah diatur meskipun oleh orang tuanya sendiri. Kemudian ketika usianya telah memasuki angka 17 tahun, maka cita-cita serta angan-angan dan ide-ide pun bermunculan. Pada suatu waktu, ia ingin menjadi “ini” atau ingin seperti si “anu”. Namun di lain waktu, bila ia melihat hal yang lebih menarik, lebih menguntungkan dan mudah dicapainya, maka iapun ingin seperti itu. Idealismenya belum kokoh, disebabkan pengaruh masa kanak-kanaknya yang belum seratus persen hilang dari jiwanya.
Namun begitu, cita-cita yang menghinggapi kaum remaja terkadang masuk diakal, bila hal tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi remaja yang bersangkutan. Tetapi ada juga remaja yang menggantungkan cita-citanya setinggi langit, sementara ia tidak menengok ke belakang tentang situasi dan kondisi yang ada. Dan yang paling tragis adalah bila seorang remaja mempunyai angan-angan yang muluk-muluk, namun ia tidak berusaha untuk menggapainya. Maka angan-angan tersebut tinggal angan-angan semata, sementara dirinya telah menjadi pelamun ulung, artinya suka melamunkan sesuatu yang tidak pernah akan terjadi pada dirinya.
Boleh-boleh saja para remaja mempunyai idelisme maupun cita-cita untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Namun semua itu diperlukan kendali, agar tidak melantur menjadi berbeda fungsi. Maksudnya yang semula adalah keinginan dan cita-cita yang baik, namun karena malas untuk mencoba berusaha menggapainya, akhirnya cuma menjadi lamunan yang tak berujung. Keadaan seperti ini sangat membahayakan, karena bisa mengakibatkan penyakit mental dan gangguan jiwa yang parah.
Perkembangan masa remaja berlangsung dalam 4 masa yaitu masa pueral, masa pra pubertas, masa pubertas, dan masa adolesen.
1. Masa Pueral
Kata pueral berasal dari kata puer yang artinya anak besar. Masa pueral merupakan bagian akhir dari masa anak sekolah. Puer adalah anak yang tidak suka lagi diperlakukan sebagai anak, tetapi ia belum termasuk golongan orang dewasa. Masa pueral berlangsung sangat singkat pada diri remaja. Sebagai contoh, anak laki-laki badannya bertambah kuat dari keadaan sebelumnya. Pertambahan kekuatan jasmani diikuti oleh tumbuhnya sikap berani, senang beramai-ramai, suka mengganggu orang lain, suka menimbulkan perselisihan, dan perkelahian. Sementara, pada anak perempuan terjadi perubahan yaitu suka tertawa riuh dan gembira.
Perkembangan kejiwaan pada masa pueral adalah adanya dorongan untuk mengemukakan pendapatnya, tidak mau diperlakukan sebagai anak-anak, suka mencetuskan perasaan, dan memberontak meskipun dalam kadar yang rendah. Begitu juga perasaan harga diri mulai tumbuh, mulai berpikir kritis, keberanian melewati batas, suka menyombongkan diri, sering bertindak tidak sopan, dan gemar akan pengalaman luar biasa.
2. Masa Pra Pubertas
Masa pra pubertas sebenarnya masih tergolong ke dalam masa peralihan. Masa ini dialami anak perempuan lebih singkat waktunya dibandingkan dengan anak laki-laki. Selain itu, pada masa ini mereka mulai berangsur-angsur melepaskan dirinya dari ikatan orang tuanya untuk memungkinkan mereka dapat berpikir dan bertindak lebih bebas. Andaikata mereka tidak dapat melepaskan dirinya dari keterikatan dan merasa kemerdekaannya terancam, ada kemungkinan mereka akan berontak atau tidak mau menuruti perintah dan tidak tunduk kepada peraturan. Pada masa ini remaja mudah terkena pengaruh buruk dari temannya, kegiatannya cenderung merusak keadaan, suka mengganggu ketertiban umum, bertindak sesuka hati, sering bertindak tidak sopan, suka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan, suka mencela tetapi ia sendiri tidak dapat berbuat lebih baik.
3. Masa Pubertas
Masa pubertas adalah masa bangkitnya kepribadian ketika minatnya lebih ditujukan kepada pengembangan pribadi sendiri. Pribadi itu menjadi pusat pikirannya. Diantara sifat-sifat yang muncul pada masa ini adalah meninggalkan pendapat lama, keseimbangan jiwa terganggu, suka menyembunyikan isi hati, tumbuhnya perasaan kemasyarakatan, adanya perbedaan sikap yang sangat mencolok antara laki-laki dengan perempuan.
Pada remaja laki-laki terdapat sifat dan perilaku aktif memberi, melindungi, menolong, memberontak, mengkritik, mencari kemerdekaan berpikir, memperoleh hak berbicara, suka meniru perbuatan orang yang disukainya, minatnya tertuju pada hal-hal yang abstrak, dan lebih memuja kepandaian yang dimiliki orang dibandingkan dengan orangnya itu sendiri. Pada remaja perempuan, adanya sifat suka dilindungi dan ditolong, adanya keterikatan perasaan dengan tradisi, tidak ingin meniru, lebih suka bersikap pasif, minatnya ditujukan pada hal-hal yang nyata, langsung memuja orangnya.
4. Masa Adolesen
Masa adolesen berada diantara usia 17-20 tahun. Sifat dan perilaku yang terjadi pada masa adolesen antara lain, mulai tampak garis perkembangan yang diikutinya di kemudian hari, mulai jelas sikapnya terhadap nilai-nilai hidup, kondisi kejiwaan mulai tenang, adanya kesadaran bahwa mengkritik itu mudah dan melaksanakannya itu sukar, mulai menunjukkan perhatian kepada masalah kehidupan yang sebenarnya, bersatunya erotis dan seksualitas, menghargai nilai-nilai lepas dari orang yang memilikinya. Selain itu, ada beberapa sifat dan perilaku yang berbeda antara remaja laki-laki dengan remaja perempuan.
Pada remaja laki-laki telah tampak sifat dan perilaku aktif, tidak membiarkan dirinya hanyut terbawa arus masa remaja, memerhatikan nilai-nilai kultural, menghargai pengalaman, sering dipengaruhi oleh nilai tertentu. Sedangkan pada remaja perempuan bersikap pasif dan reseptif (penerima), terbawa hanyut arus masa remaja, lebih memerhatikan masalah kehidupan, kurang menyadari akan resiko, dan berkeinginan yang tidak menentu.





BAB III
PEMBAHASAN

A. Dampak yang Dapat Ditimbulkan Oleh Media Televisi Terhadap Pembentukan Perilaku Remaja
Televisi merupakan salah satu media komunikasi massa mempunyai fungsi yaitu memberi informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Kebanyakan acara yang ditayangkan oleh TV lebih banyak porsi percintaannya dibandingkan dengan hiburannya. Yang amat disayangkan dari acara terebut adalah banyaknya adegan mesra dan efek yang ditimbulkannya amat banyak. Terutama bagi kalangan remaja. Kemesraan yang ditayangkan dalam progam tersebut memancing nafsu bagi mereka yang menyaksikannya, yakni keinginan remaja yang kuat untuk melihat dan bahkan melakukan adegan percintaan di dalam kehidupannya sehari-hari.
Efek yang ditimbulkan setelah selesai menyaksikan acara yang ditayangkan di TV ialah terbentuknya mental anak muda yang cengeng, instant, mudah menyerah, manja, dan suka menghayal, serta gaya hidup yang kontras dengan realita yang ada. Dengan demikian menurut penulis maraknya tayangan kekerasan/percintaan mengingatkan penonton akan sebuah peringatan bahwa kemajuan teknologi merupakan teman sekaligus lawan (dalam hal ini TV). Keberadaannya memiliki beberapa sisi efek sebagai berkah sekaligus bencana jika tidak dengan sebaik-baiknya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Ia juga mempunyai sisi yang bertolak belakang serta susah ditebak karena ia memiliki nilai kebenaran yang relatif (objektif relative). Ia memberikan efek positif sekaligus negatif, efeknya begitu mendalam karena ia mampu melakukan kontak batin dengan penikmatnya sehingga seolah-olah mereka hanyut ke dalam acara yang sedang berlangsung.
Mungkin karena permintaan pasar, TV seringkali memberikan acara tanpa mempertimbangkan aspek psikologis maupun sosiologis terhadap khlayaknya. Amat banyak acara yang ditampilkan di TV secara vulgar, apalagi acara tersebut seharusnya diperuntukkan bagi kalangan dewasa namun, banyak juga di tonton remaja. Pernahkah penonton sadar bahwa secara tidak langsung TV telah mengajarkan kita tentang cara-cara baru kekerasan ataupun percintaan yang bersifat fiksi ditampilkan oleh media yang kemudian hal itu ditiru oleh penonton dengan harapan akan memperoleh hasil yang sama.
Acara televisi pada umumnya dapat mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan serta menghipnotis pada audiens khususnya remaja sehingga mereka dihanyutkan dalam pertunjukkan televisi tersebut. Dari televisi orang dapat belajar banyak tentang informasi dan memahami tentang dunia dan bagaimana berperilaku dalam masyarakat, antara lain mempelajari hubungan sosial, nilai-nilai perilaku sosial dan anti sosial, serta masih banyak lagi. Salah satu dampak negatif televisi pada remaja adalah perilaku agresi. Agresi adalah setiap bentuk perilaku yang diarahkan untuk merusak atau melukai orang lain.
Hasil konkrit sinetron dalam kehidupan nyata, ada di depan mata kita seperti geng nero, geng motor, pelecehan seksual di kalangan birokrat, dan lain sebagainya. Televisi adalah media yang potensial sekali, tidak saja untuk menyampaikan informasi tetapi juga membentuk perilaku seseorang. Sebagai media audio visual televisi mampu merebut 94% saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum akan ingat 85% dari apa yang mereka lihat di TV, setelah 3 jam kemudian dan 65% setelah 3 hari kemudian. Ternyata, tanyangan TV terbukti cukup efektif dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku remaja lantaran media ini sekarang telah berfungsi sebagai rujukan dan wahana peniruan (what they see is what they do).
Kehadiran sinema elektronika (sinteron) yang menghiasi televisi setiap hari barangkali telah ikut membentuk nilai “baru” bagi generasi muda saat ini. Tidak banyak senitron yang mampu memberikan nilai-nilai edukatif bagi para penontonnya. Di sinetron dengan mudah disaksikan pelajar (SMP/SMA) yang lebih disibukkan persoalan hubungan lawan jenis dibandingkan usaha gigih untuk meraih prestasi akademis yang baik.
Perkembangan alat elektronik yang semakin pesat membawa dampak positif maupun negatif. Misalnya saja dengan adanya televisi. Televisi tidak hanya membawa pengaruh yang positif saja, tetapi juga membawa pengaruh yang negatif, dengan tayangan yang dihadirkan tidak menolak kemungkinan akan mempengaruhi perilaku remaja. Banyak remaja yang lebih cepat matang (dewasa sebelum saatnya).
Seorang ahli bernama Albert Bandura mengemukakan teorinya yang terkenal dengan nama Social Learning Theory, yang secara umum menjelaskan bahwa anak-anak dan remaja akan dengan mudah meniru perilaku apa yang sering mereka tonton. Anak-anak dan remaja yang menonton kekerasan mempunyai peluang besar untuk menirunya. Sebaliknya jika mereka sering menonton acara yang berisi hal-hal yang bersifat mendidik, misalkan film yang berisi cerita kepahlawanan atau kasih sayang (antar mahluk hidup), maka ia pun akan terpengaruh atau meniru apa yang ia tonton tersebut. Tetapi kita tidak boleh mengklaim bahwa semua tayangan televisi hanya berdampak negatif. Jelas pernyataan itu tidak adil. Seperti yang telah dijelaskan di atas, TV ibarat koin mata uang. TV juga mempunyai dampak positif, banyak siaran TV yang baik untuk pendidikan remaja.
Dalam situasi demikian tentu saja akan bersifat kontra produktif jika beberapa stasiun televisi menayangkan berbagai acara yang kurang memupuk upaya penanaman nilai agama dan budi pekerti. Untuk itu, sudah saatnya para pengelola televisi dituntut kesediaannya dalam memperbanyak volume acara yang membawakan pesan-pesan edukatif dan positif. Kita akui, tayangan televisi seperti sinetron hanya sebatas rekaan sutradara yang tak mesti sejalan denga realitas pergaulan remaja kita sehari-hari. Tetapi, karena TV telah menjadi media publik yang ditonton secara luas, termasuk kalangan remaja, maka akan memberi dampak kurang positif jika isinya bersifat vulgar.
Di samping itu, judul sinetron yang selalu mengambil topik-topik tentang percintaan dan pacaran sedikit banyak akan mengajari remaja untuk berpacaran, tampil sexy, bergaya hidup trendy dan berorentasi yang penting happy. Walaupun tayangan ini belum tentu ditiru namun tetap akan mengontaminasi pikiran polosnya. Karena efek tayangan TV selama ini terbukti cukup ampuh bagi mereka. Simak saja, tingkah laku sebagian remaja saat ini yang sangat mengidolakan tokoh-tokoh film percintaan dan sejenisnya.
B. Solusi Untuk Mengatasi Dampak Negatif dari Media Televisi Pada Remaja di Dalam Kehidupan Sehari-hari
Para ahli komunikasi mengatakan, media massa sangat berpengaruh terhadap pembentukan realitas sosial. Komunikasi massa selalu mempunyai dampak pada diri seseorang atau sekelompok orang akibat dari pesan yang disampaikan kepadanya. Dampak kognitif berhubungan dengan pemikiran, dampak emosional berhubungan dengan perasaan (senang, sedih, marah, sinis dan sebagainya). Dampak kognitif juga mencakup niat, tekad, upaya, dan usaha yang berkecenderungan diwujudkan menjadi suatu kegiatan. Media massa tidak hanya memiliki dampak langsung terhadap individu, tetapi juga mempengaruhi kebudayaan dan pengetahuan kolektif serta nilai-nilai di dalam masyarakat. Media massa menghadirkan perangkat citra, gagasan dan evaluasi yang menjadi sumber bagi audience-nya untuk memilih dan menjadikan acuan bagi pelakunya.
Film remaja seputar cinta dan pergaulan bebas secara tidak langsung memberikan visualisasi untuk menginspirasi pemirsanya dalam melakukan hal yang sama seperti di film. Meski mungkin tujuan dibuatnya film sebagai media penyadaran masyarakat dengan menampilkan realitas yang terjadi di masyarakat. Tapi, kenyataannya yang terjadi adalah bias. Sebab, sangat tipis bedanya antara membeberkan fakta dengan mengajarkannya. Selain itu, berbagai adegan pornografi di televisi mulai dari kasus ringan-berat pun telah menjadi bentuk pendidikan nilai-nilai yang tidak sepantasnya dilakukan terhadap remaja. Mereka yang sebenarnya membutuhkan asupan gizi semisal berupa tontonan yang mendidik yang mencerminkan insan cendekia, intelek, atau akademis, telah diracuni dengan berbagai adegan pacaran bahkan bentuk kegiatan seksual yang lebih jauh/parah.
Banyak acara-acara yang ditayangkan TV dengan tidak mengandung nilai-nilai yang semestinya disanjung oleh bangsa yang menganut budaya ketimuran, yakni nilai kesopanan, moral dan lain-lain. Yang menarik bagi penulis adalah bahwa efek tayangan tersebut secara tidak sadar telah mempengaruhi keadaan jiwa penonton yang mendorong dirinya untuk meniru adegan-adegan yang ada. Percaya atau tidak, tayangan kekerasan tersebut juga turut mempengaruhi angka kriminalitas seperti pembunuhan, pelecehan seksual, perkosaan, dan lain sebagainya. Ini menarik untuk dijelaskan mengingat tayangan-tayangan tersebut setiap jam hadir di tengah keluarga.
Kontrol orang tua terhadap tayangan TV juga dapat dilakukan secara langsung kepada stasiun TV yang menayangkannya. Caranya, orang tua dapat melayangkan protes kepada stasiun TV yang menayangkan sebuah acara yang dianggap bernilai negatif. Cara protes ini sekarang lebih mudah dilakukan karena telah disediakan salurannya. Hampir semua TV di Indonesia memiliki telepon, fax, email, bahkan SMS yang bisa dijangkau dari mana-mana. Mereka umumnya menerima layanan pelangan (custumer service) hampir 24 jam. Adaikan ada dua orang dari setiap propinsi di Indonesia yang rela menyempatkan diri ‘mengawasi’, atau bahkan melakukan protes terhadap setiap tayangan TV yang berbau ‘sesat’, maka dipastikan stasiun TV akan sangat selektif menampilkan tayangan TV.
Untuk mengantisipasi dampak negatif dari televisi tentunya tidak dapat didiamkan begitu saja. Dibutuhkan sebuah kemampuan untuk menyikapi media ini dengan bijaksana. Bila masalah remaja ini hanya menjadi persoalan bagi para orang tua dan hanya beberapa gelintir orang yang peduli pada hal itu, maka masalah ini akan semakin sulit untuk terpecahkan. Sebenarnya pihak yang benar-benar terlibat dan harus dilibatkan untuk memecahkan masalah ini adalah pihak stasiun televisi itu sendiri. Karena pihak stasiun televisi mempunyai wewenang untuk menentukan layak tidaknya sebuah acara untuk ditayangkan.
Mereka mempunyai andil yang besar pada semua tayangan yang ada di televisi. Di sinilah sebenarnya diperlukan orang yang benar-benar peduli pada nasib bangsa dan punya tanggungjawab moral yang tinggi. Kalau orang yang ditempatkan pada posisi ini adalah orang yang tepat, maka dia akan berfikir berkali-kali sebelum menayangkan sebuah acara. Apakah acara ini layak untuk ditayangkan? Sasarannya siapa? Disiarkan pada jam berapa? Apa pengaruh yang timbul dari acara ini? Dan masih banyak lagi pertimbangan yang mereka fikirkan. Jika semua pihak bekerjasama dengan baik, maka akan ada harapan masalah ini mudah terpecahkan. Sehingga masa depan bangsa tidak lagi berada dalam ambang kehancuran.
Secara psikologis, acara siaran televisi mempunyai pengaruh yang kuat dalam waktu yang lama kepada pikiran penontonnya. Indera pertama yang memiliki pengaruh terkuat pada pikiran adalah penglihatan, kemudian yang kedua adalah pendengaran, dan selanjutnya adalah indera perasa. Acara televisi yang melibatkan indera penglihatan dan pendengaran penontonnya, memiliki pengaruh yang lebih kuat kepada pikiran penonton dibanding pengaruh media lain.
Karena itu, penulis mengimbau agar para pemilik stasiun televisi jangan hanya mementingkan aspek komersial, tetapi juga memikirkan peran mencerdaskan masyarakat khususnya remaja. Seharusnya, televisi bisa menayangkan acara yang dapat membuka wawasan dan menumbuhkan semangat kreativitas, bekerja, dan taat beribadah sebagai ganti dari acara yang merusak moral itu. Sudah saatnya semua elemen yang ada di Indonesia bersatu padu untuk menyelamatkan remaja Indonesia menuju suatu kehidupan yang lebih baik.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan mengatasi masalah ini harus ada solusi untuk mengatasinya. Solusi yang melibatkan berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam masalah ini. Melibatkan para pemilik televisi, para produser dan insan pembuat sinetron, masyarakat dan organisasi atau lembaga sosial masyarakat yang terkait. Pihak-pihak yang terlibat tersebut membuat suatu kebijakan yang disepakati bersama untuk mengatasinya. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak merugikan diantara mereka dan mampu memberikan solusi yang tepat. Hal ini dilakukan demi masa depan generasi penerus bangsa. Jangan sampai penerus bangsa kita menjadi tidak kreatif karena terbiasa dengan budaya menonton, salah satunya melihat sinetron. Jangan sampai tunas bangsa kita layu dan mati tenggelam dengan budaya menonton.

Tidak ada komentar: